LP Ma’arif Ponorogo- Dewasa ini pada setiap tanggal 14 Februari selalu identik dengan perayaan valentine atau hari kasih sayang. Yaitu hari dimana orang-orang barat menyatakan cinta kepada orang yang disukai. Jika dilihat dari sejarahnya, peringatan Valentine Day memiliki ragam versi sejarah dan asal-muasal.
Salah satu rujukan yang bisa dipakai untuk mengulas sejarah Valentine Day adalah The World Book Encyclopedia, vol. 20 (1993), asal Valentine Day berawal dari perayaan Lupercalia yaitu rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno yang berlangsung mulai 13 sampai 18 Februari. Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata.
Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk bersenang-senang dan menjadikannya sebagai objek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda mencambuk orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dicambuk karena anggapan cambukan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.
Berdasarkan isi sejarahnya, maka sangat jelas bahwa peringatan Valentine Day sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama Islam, malah lebih condong ke budaya Barat. Keluar dari pembahasan Valentine Day, pada tanggal 14 Februari merupakan kelahiran tokoh besar. Seorang ulama besar dari Indonesia, tokoh pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia bernama Nahdlatul Ulama (NU), pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang dan juga termasuk Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau adalah Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari, 14 Februari 1871 dilahirkan di Pesantren Gedang, Tambakrejo, Jombang dari pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Sejak masa kanak-kanak hingga usia 15 tahun beliau dididik oleh ayahnya. Beliau juga terkenal telah menjelajahi beberapa pesantren, diantaranya Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Tenggilis (Surabaya), Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) dan Pesantren Darat (Semarang).
KH Hasyim Asy’ari juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami Islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan beliau termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana)”. Selain aktif mencari ilmu, beliau juga seorang pengarang kitab. Karya beliau antara lain Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama, Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al- Jamaah fi Hadist al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah dan Adab al-Alim wa al-Muta’allim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi.
Sumber: Lirbiyo.net, Tebuireng.Online