Oleh: Imron Husnussairi
……. (lanjutan part 1)
Ketiga, sulitnya membedakan antara Islam dan Arab. Islam yang turunnya di Arab tentunya sulit untuk dipisahkan dengan kultur Arab yang sudah ada sebelum ajaran Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Al-Quran berbahasa Arab dan Nabi pun berbangsa Arab. Nabi yang merupakan panutan umat Islam berpakaian dan berkomunikasi dalam bahasa Arab. Berdakwah dan bersosialisasi sesuai dengan kultur Arab. Bagi kalangan yang belum memiliki ilmu Islam dan pengetahuan sejarah budaya Arab yang memadai, tentunya akan sangat kesulitan untuk membedakan antara Islam dan Arab. Setiap sikap Nabi yang merupakan cerminan perilaku seorang yang berbudaya Arab ditafsirkan sebagai ajaran Islam.
Berdasarakan ilustrasi causatif di atas dan fakta empiris, model-model gerakan mahasiswa muslim yang cenderung berkiblat ke Timur Tengah lebih diminati di kampus-kampus sekuler di Indonesia. Gerakan Islam ala Indonesia yang cenderung menggambarkan corak tradisional menjadi “kurang laku”. Jangankan NU (Nahdlatul Ulama) yang dengan rela dilabeli Islam tradisional, Muhammadiyah yang menyandang Islam modernis pun agaknya enggan untuk dilirik.
Pertanyaan besar yang menurut penulis sangat penting dan perlu untuk direnungkan adalah sampai berapa tahun lagi jam’iyyah NU akan mampu bertahan hidup di bumi (Indonesia)? Pertanyaan ini muncul menjadi dari dasar logika yang sangat sederhana. Logikanya begini, sekarang kita memasuki millenium ketiga. Persaingan individual akan sangat berpengaruh oleh kualitas sumber daya manusia. Individu-individu yang profesional di bidangnya akan sangat dibutuhkan. Teknologi akan semakin merajalela dan menjadi modal bagi sebuah komunitas untuk dapat bersaing hidup. Pendeknya, kemampuan penguasa sains-teknologi dan kualitas intelektual individu merupakan prasyarat untuk dapat bersaing di dunia millenium ketiga. Sedangkan sumber-sumber hasil penghasil individu yang profesional dan paham tentang sains-teknologi adalah kampus-kampus sekuler. Nah, kalau faktanya mengatakan bahwa gerakan Islam tradisional (NU) kurang diminati oleh para mahasiswa calon intelektual dan profesional muda, dari mana NU akan merekrut kader-kader yang dapat diandalkan di bidang sains-teknologi, politik, ekonomi serta ketatanegaraan?
Ini merupakan pekerjaan rumah yang tidak ringan. Untuk itu harus ada upaya-upaya yang dilakukan untuk merubah public opini dan cara pandang masyarakat terhadap NU. Adapun upaya-upaya yang mungkin dilakukan (meskipun memakan waktu yang lama) di antaranya adalah:
Pertama, mengembangkan pola pendidikan pesantren yang terkesan cenderung feodal menjadi pola pendidikan yang lebih berorientasi demokratisasi wawasan dan pemikiran para santri. Karena basis dan benteng pendidikan jam’iyyah NU adalah pesantren, maka perubahan dari sistem pendidikan yang cenderung feodal ke arah pendidikan yang lebih demokratis harus dimulai dari pesantren. Artinya, santri harus lebih diberi peran dalam penentuan proses belajar mengajar. Apresiasi terhadap daya kreatifitas berpikir santri lebih ditingkatkan. Sistem belajar mengajar lebih dikembangkan ke arah sistem belajar mengajar dua arah, di mana santri diberi ruang kebebasan seluas-luasnya mengembangkan wawasan dalam menyikapi suatu materi pelajaran di bawah bimbingan seorang kyai yang qualified di bidangnya dan dalam batas-batas etika moral Islami. Kitab kuning tidak lagi dianggap sebagai “kitab suci” yang mutlak kebenarannya namun dipandang sebagai karya ilmiah luhur para ulama yang alim dan arif. Dengan paradigma ini, maka memungkinkan komunitas pesantren untuk mengadakan diskusi, kajian dan bedah kitab kuning yang lebih mendalam dan intensif. Berangkat dari kondisi tersebut, maka dengan sendirinya para santri akan terpacu untuk ikut serta dalam arus proses pendewasaan dan pengembangan pemikiran intelektual.
Kedua, khususnya untuk generasi muda NU adalah bangga dengan ke-NU-annya. Perlu ditekankan bahwa bangga bukan berarti takabbur, sehingga menafikan adanya kelompok-kelompok Islam lain. Sekali lagi, penulis berkeyakinan bahwa perbedaan merupakan sunnatullah yang merupakan rahmat bagi manusia yang berakal. Justru dengan perbedaan itu terjadi persaingan yang sehat dan merupakan dasar penggerak untuk saling berfastabiqul khoirot demi tercapainya Islam yang jaya. Kebenaran mutlak hanya di tangan Tuhan, jadi tidak perlu berpikiran bahwa kelompoknya yang paling benar dan unggul. harus dikembangkan pemikiran bahwa kelompok lain juga benar(selama dapat dipertanggungjawabkan dengan dasar syar’i dan i’tiqod) dan NU juga bukan kelompok yang menyimpang. Dalam bahasa dialogis perlu dan “kami juga mau disalahkan”. Juga, penulis berkeyakinan bahwa tidak sedikit generasi muda (mahasiswa) yang merasa dan minimal “berdarah” dan berkultur NU yang bertebaran di kampus-kampus sekuler. Tidak perlu merasa inferior untuk sekedar mengatakan “Ya, saya NU” kepada kelompok lain. Dan tidak perlu risau atas label tradisionalis kampungan dan sektarian. Kalau tidak kita (khususnya mahasiswa pergururan tinggi non agama), siapa yang akan -minimal – memberikan sumbangan tenaga, keahlian dan pikiran keapda NU demi izzul Islam wa al muslimin?
Sumber: AULA edisi Januari 2000